Oleh: Andi Ramli

Pemerintah telah menargetkan bahwa upaya penetapan ulang sejarah nasional terjadi melalui penguatan materi dalam buku pelajaran anak sekolah. Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan agar pemahaman dari para generasi muda terhadap bagaimana perjalanan bangsa Indonesia ini menjadi jauh lebih kokoh, akurat, dan konsisten.

Langkah tersebut juga sekaligus menempatkan sektor pendidikan sebagai poros utama dalam membangun kesadaran sejarah, terutama setelah hampir tiga dekade lamanya, tidak ada upaya untuk melakukan proses penyusunan kembali sejarah nasional secara komprehensif seperti sekarang ini.

Maka dari itu, pemerintah memandang bahwa pembaruan narasi sejarah harus hadir secara langsung di ruang belajar para penerus generasi bangsa karena buku pelajaran yang mereka pelajari di sekolah selama ini memiliki posisi yang strategis sebagai rujukan utama dari para siswa dalam membentuk identitas nasional mereka.

Mengenai hal tersebut, Kepala Badan Standardisasi, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menegaskan bahwa revisi buku pelajaran yang dilakukan itu menjadi salah satu instrumen yang paling efektif untuk dapat memastikan adanya narasi sejarah yang lebih kuat.

Pemerintah berupaya untuk semakin memperkaya isi buku teks melalui berbagai hal, seperti penyempurnaan narasi, penguatan bukti, serta penyajian perspektif multidimensi yang memungkinkan para siswa bisa memahami seperti apa sejarah nasional dari sudut pandang yang jauh lebih luas dan ilmiah.

Penekanan pada konteks dan keberagaman sumber menjadi cara pemerintah untuk terus mendorong terwujudnya pembelajaran sejarah yang tidak hanya mengandalkan hafalan semata, tetapi juga mampu menstimulasi nalar kritis dari para siswa. Melalui strategi tersebut, pemerintah ingin agar setiap generasi muda penerus bangsa ini memiliki landasan pengetahuan sejarah yang sama dan dapat dipertanggungjawabkan.

Momentum penetapan ulang sejarah nasional kemudian menjadi semakin menguat setelah DPR RI menyetujui bagaimana langkah besar yang diajukan oleh Kementerian Kebudayaan. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, pemerintah memperoleh dukungan dari mayoritas fraksi untuk dapat melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah, yang sekaligus juga menandai berakhirnya kevakuman selama lebih dari dua puluh enam tahun belakangan ini.

Persetujuan tersebut semakin memberikan legitimasi politik terhadap kebutuhan pembaruan narasi sejarah yang lebih sesuai dengan bagaimana perkembangan riset, kebutuhan zaman, serta dinamika sosial yang terus berubah di tengah masyarakat.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon memaparkan mengenai bagaimana urgensi dari adanya pembaruan sejarah melalui penekanan pada penghapusan bias kolonial dan penguatan identitas nasional.

Ia menilai bahwa sejarah nasional membutuhkan rekontekstualisasi agar mampu menjawab tantangan globalisasi yang kini memengaruhi cara generasi muda memandang jati diri bangsa. Pemerintah menargetkan buku pelajaran sebagai ruang paling strategis untuk meletakkan ulang pondasi sejarah tersebut agar tidak lagi terjebak pada narasi lama yang kurang menyentuh sudut pandang Indonesia-sentris.

Pemerintah juga menyusun rancangan sejarah dalam sepuluh jilid besar, mulai dari peradaban awal Nusantara, interaksi dengan dunia luar, masa kolonialisme, hingga perkembangan sosial politik modern pasca-Reformasi.

Fadli Zon memandang bahwa proyek besar tersebut wajib melibatkan banyak pemangku kepentingan agar objektivitas dan kedalaman analisis dapat tercapai. Keterlibatan akademisi, budayawan, hingga tokoh masyarakat menjadi kunci agar penulisan sejarah tidak hanya menonjolkan satu perspektif tertentu.

Pemerintah menargetkan proses uji publik dilakukan saat progres penyusunan mencapai 70 persen, sebagai bentuk keterbukaan terhadap kritik dan koreksi dari masyarakat luas. Pendekatan kolaboratif tersebut diharapkan menghasilkan karya sejarah yang bukan sekadar dokumen akademis, tetapi juga representasi pengalaman kolektif bangsa.

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menilai proses penetapan ulang sejarah harus berlangsung inklusif dan transparan. DPR ingin memastikan bahwa kementerian merancang mekanisme kerja yang melibatkan publik sejak awal agar legitimasi narasi sejarah dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Penekanan Hetifah memperlihatkan bahwa buku pelajaran tidak hanya berfungsi sebagai media belajar, tetapi juga sebagai alat pembentuk memori kolektif bangsa. Ia menilai bahwa narasi sejarah yang kuat akan memberikan orientasi moral dan identitas kultural yang lebih tajam bagi generasi muda.

Penulisan ulang sejarah menempatkan pemerintah pada agenda besar untuk mendistribusikan buku sejarah terbaru ke sekolah dan perguruan tinggi sebagai materi ajar utama.

Pemerintah berharap bahwa penataan ulang sejarah melalui buku pelajaran dapat mengakhiri warisan narasi yang setengah matang dan tidak lagi mencerminkan kompleksitas pengalaman Indonesia sebagai bangsa besar.

Penyelarasan materi ajar dengan hasil penulisan ulang tersebut menjadi langkah strategis untuk memastikan seluruh siswa Indonesia mempelajari sejarah melalui kacamata bangsa sendiri, bukan perspektif asing.

Penetapan ulang sejarah yang lebih kuat melalui buku pelajaran menggambarkan upaya pemerintah membangun generasi yang memahami akar budaya, perjuangan, dan identitas nasional secara lebih mendalam.

Pendidikan diposisikan sebagai gerbang utama untuk membentuk kebanggaan kolektif dan kesadaran historis yang solid. Ketika narasi sejarah tersusun secara lebih objektif dan kaya perspektif, generasi mendatang akan tumbuh dengan pemahaman yang lebih jernih mengenai perjalanan bangsanya serta memiliki orientasi yang kuat terhadap masa depan Indonesia. (*)

Analis Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia